Minggu, 09 Juli 2017

Muhammad Hasnan

Part 5 – Bunga (1)
Aku berjalan keluar menuju gerbang masjid, namun seketika langkah ku terhenti ketika seseorang memanggil nama ku. Akupun menoleh ke kiri mencari sumber suara yang memanggil ku...
“Bang Hasnan, kan?” ucapnya sedikit berteriak setelah aku menoleh. “Apa kabar bang?”
“Alhamdulillah sehat” jawabku singkat. Otakku masih berproses untuk memastikan apakah seseorang yang ada di hadapan ku ini pernah tersimpan di dalam memorinya atau tidak.
Sesaat kemudian, pikiranku kembali ke masa 10 tahun silam. Saat pertama kali aku mengenal sosok yang ada di hadapan ku saat ini.
“Suci apa kabar?” Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut ku. Antara kaget dan bahagia aku bisa bertemu dengannya lagi.
***
10 tahun yang lalu, hari itu masih dalam suasana lebaran. Ini berawal dari kebiasaan teman-temanku yang suka berkenalan dengan banyak wanita. Saat itu kami baru saja lulus SMA, dan Suci masih duduk di kelas 2. Meski kami satu sekolah, aku baru mengenalnya setelah lulus. Tentu saja tidak dengan teman-teman ku, mereka lebih dulu mengenalnya.
Aku dan teman-teman berjanji untuk bertemu dengan Suci dan teman-temannya di suatu tempat. Sejak pertemuan itu, kami pun sering bertemu. Siapa sangka, pertemuan demi pertetelah itu kami masih sering berkomunikasi. Tapi tahun-tahun berikutnya tidak lagiemuan akhirnya menumbuhkan rasa cinta. Kuberanikan diriku untuk menyatakan padanya, dan dia menerima ku. Tak bertahan lama, cinta monyet ini berakhir tepat pada anniversary yang ke 2 bulan. haha
Dua tahun pertama s, kami hanya berkomunikasi saat lebaran. Anehnya hanya saat lebaran. Seperti ada yang kurang rasanya kalau lebaran tanpa ada kabar darinya. Dan seakan-akan kami kembali kemasa awal bersua dulu. Selalu begitu. Tiga kali puasa dan tiga kali lebaran kejadian seperti itu berulang.
Tepat pada tahun kelima sejak kami pertama bertemu, saat itu lebaran hari kelima. Seperti biasa, kami bernostalgia. Dia mengirim pesan singkat berisi ucapan selamat lebaran, aku membalas sekenanya saja. Tapi lagi-lagi kami larut dalam perasaan masing-masing. Nampaknya cinta monyet itu kini telah berubah menjadi cinta sungguhan. Besoknya, kembali ku beranikan diri menyatakan perasaan hati ku, kali ini untuk mengajaknya menikah. Ah itulah cinta, memang sulit di tebak, dia bisa datang kapan saja, dan pergi semaunya. Lima tahun ternyata tak cukup bagi ku untuk dapat melupakannya.
Aku sempat berfikir bahwa aku telah melakukan hal bodoh dengan mengajaknya menikah, sebab dia tak langsung menjawabnya waktu itu. Mungkin dia marah atau tak suka dengan sikap ku yang seperti itu, fikir ku. Dan sejak hari itu dia tak lagi menghubungi ku, mungkin dia menganggap pernyataan ku waktu itu hanya sebatas candaan atau memang betul-betul marah, entahlah. Aku pasrah, dan berusaha melupakannya.
Tapi sebulan setelahnya, dia mengirimkan pesan singkat berisi sebuah emoticon. Antara heran dan tak percaya, aku akhirnya membalas dengan emoticon yang sama, senyum. Setelah sedikit berbasa basi, dia akhirnya menanyakan keseriusan ku untuk menikahinya waktu itu. Aku bingung, sebulan aku berusaha keras mengikhlaskannya, kini dia datang. Tapi aku tak bisa membohongi perasaan ini, aku yakinkan diri ku dan aku yakinkan dirinya. Lalu dia berkata “kalau besok aku bilang siap, abang siap kan?”. Maka aku jawab dengan tegas, “Iya, Aku siap.”.
Hari pun berlalu, maka besok yang dinantikan pun tiba. Malamnya, dia mengirim pesan singkat seperti sebelumnya. Tapi kali ini isinya bukan senyuman, tapi sebuah lambang kesedihan. Aku membalas dengan bertanya “Kenapa Suci?”. Agak lama aku menunggu datangnya balasan, “Bang, kayaknya kita nggak bisa nikah. Target ku untuk menikah masih lama, empat atau lima tahun lagi. Masih ada impian-impian yang harus aku wujudkan, bang. Dan abang nggak mungkin menunggu selama itu kan.”
Aku tersenyum membaca pesan itu. “Tak bisakah kita mewujudkan mimpi itu sama sama, Suci?”
“Nggak bisa bang, aku ingin mewujudkannya sendiri. Lagian kita juga nggak bakal bisa nikah, bang.”
“Loh, kenapa?” balas ku penasaran.
 “Kata ibu Aku boleh nikahnya sama orang Jawa aja Bang. Maafin Ibu ku ya Bang”
Aku termenung menatap layar ponsel. Antara bingung dan tak percaya membaca isi pesan itu. “Harus orang Jawa ya Ci? Nggak boleh sama orang Melayu gitu?”
          “Iya bang, tadi Ibu bilang gitu. Aku udah coba jelasin sama Ibu, tapi Ibu tetap inginnya aku nikah sama orang jawa aja. Maaf ya bang. Selama ini Ibu nggak pernah minta apa pun sama aku. Biasanya ibu selalu turuti kemauan aku. Jadi sekarang aku yang harus turuti kemauan Ibu” balasnya berusaha menjelaskan.
Dapat ku pahami dengan jelas kenapa ibunya ingin dia menikah dengan orang jawa, selain karena mereka memang orang jawa. Pasti seorang ibu inginkan yang terbaik untuk anaknya. Dan juga dapat ku mengerti alasannya untuk mewujudkan impian-impiannya. Dia seseorang yang punya prinsip, aku suka itu.
“Kalau memang seperti itu keadaannya, apa boleh buat. Suci turuti aja kemauan ibu, buat ibu bahagia. Dan capailah semua impiannya. Abang mendoakan yang terbaik buat Suci.” Aku mendoakannya tulus, bukan hanya sebatas kata-kata. Tapi dari hati, aku memang berharap yang terbaik untuknya, juga keluarganya.
“Makasih ya bang, semoga abang juga diberikan yang terbaik” dia balas mendoakan.
“Iya. Dan sepertinya Syawal kemaren adalah syawal terakhir abang menghubungi Suci. Setelah ini Abang akan melupakan Suci. Aku akan melupakan mu.” Ini bukan tentang penyesalan, tapi tentang sebuah harapan baru. Bukan tentang menyerah, tapi awal sebuah langkah.
Dan pesan terakhir yang aku terima darinya adalah “Aku juga akan Melupakan mu”.

(Masih) Bersambuunnggggg....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar