Part
5 – Bunga (1)
Aku berjalan keluar menuju gerbang
masjid, namun seketika langkah ku terhenti ketika seseorang memanggil nama ku.
Akupun menoleh ke kiri mencari sumber suara yang memanggil ku...
“Bang
Hasnan, kan?” ucapnya sedikit berteriak setelah aku menoleh. “Apa kabar bang?”
“Alhamdulillah
sehat” jawabku singkat. Otakku masih berproses untuk memastikan apakah
seseorang yang ada di hadapan ku ini pernah tersimpan di dalam memorinya atau
tidak.
Sesaat
kemudian, pikiranku kembali ke masa 10 tahun silam. Saat pertama kali aku
mengenal sosok yang ada di hadapan ku saat ini.
“Suci
apa kabar?” Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut ku. Antara kaget dan
bahagia aku bisa bertemu dengannya lagi.
***
10
tahun yang lalu, hari itu masih dalam suasana lebaran. Ini berawal dari
kebiasaan teman-temanku yang suka berkenalan dengan banyak wanita. Saat itu
kami baru saja lulus SMA, dan Suci masih duduk di kelas 2. Meski kami satu
sekolah, aku baru mengenalnya setelah lulus. Tentu saja tidak dengan teman-teman
ku, mereka lebih dulu mengenalnya.
Aku
dan teman-teman berjanji untuk bertemu dengan Suci dan teman-temannya di suatu
tempat. Sejak pertemuan itu, kami pun sering bertemu. Siapa sangka, pertemuan
demi pertetelah itu kami masih sering berkomunikasi. Tapi tahun-tahun
berikutnya tidak lagiemuan akhirnya menumbuhkan rasa cinta. Kuberanikan diriku
untuk menyatakan padanya, dan dia menerima ku. Tak bertahan lama, cinta monyet ini
berakhir tepat pada anniversary yang ke 2 bulan. haha
Dua
tahun pertama s, kami hanya berkomunikasi saat lebaran. Anehnya hanya saat
lebaran. Seperti ada yang kurang rasanya kalau lebaran tanpa ada kabar darinya.
Dan seakan-akan kami kembali kemasa awal bersua dulu. Selalu begitu. Tiga kali
puasa dan tiga kali lebaran kejadian seperti itu berulang.
Tepat
pada tahun kelima sejak kami pertama bertemu, saat itu lebaran hari kelima.
Seperti biasa, kami bernostalgia. Dia mengirim pesan singkat berisi ucapan
selamat lebaran, aku membalas sekenanya saja. Tapi lagi-lagi kami larut dalam perasaan
masing-masing. Nampaknya cinta monyet itu kini telah berubah menjadi cinta
sungguhan. Besoknya, kembali ku beranikan diri menyatakan perasaan hati ku,
kali ini untuk mengajaknya menikah. Ah itulah cinta, memang sulit di tebak, dia
bisa datang kapan saja, dan pergi semaunya. Lima tahun ternyata tak cukup bagi
ku untuk dapat melupakannya.
Aku
sempat berfikir bahwa aku telah melakukan hal bodoh dengan mengajaknya menikah,
sebab dia tak langsung menjawabnya waktu itu. Mungkin dia marah atau tak suka
dengan sikap ku yang seperti itu, fikir ku. Dan sejak hari itu dia tak lagi
menghubungi ku, mungkin dia menganggap pernyataan ku waktu itu hanya sebatas
candaan atau memang betul-betul marah, entahlah. Aku pasrah, dan berusaha
melupakannya.
Tapi
sebulan setelahnya, dia mengirimkan pesan singkat berisi sebuah emoticon.
Antara heran dan tak percaya, aku akhirnya membalas dengan emoticon yang sama,
senyum. Setelah sedikit berbasa basi, dia akhirnya menanyakan keseriusan ku
untuk menikahinya waktu itu. Aku bingung, sebulan aku berusaha keras
mengikhlaskannya, kini dia datang. Tapi aku tak bisa membohongi perasaan ini,
aku yakinkan diri ku dan aku yakinkan dirinya. Lalu dia berkata “kalau besok
aku bilang siap, abang siap kan?”. Maka aku jawab dengan tegas, “Iya, Aku siap.”.
Hari
pun berlalu, maka besok yang dinantikan pun tiba. Malamnya, dia mengirim pesan
singkat seperti sebelumnya. Tapi kali ini isinya bukan senyuman, tapi sebuah
lambang kesedihan. Aku membalas dengan bertanya “Kenapa Suci?”. Agak lama aku
menunggu datangnya balasan, “Bang, kayaknya kita nggak bisa nikah. Target ku
untuk menikah masih lama, empat atau lima tahun lagi. Masih ada impian-impian
yang harus aku wujudkan, bang. Dan abang nggak mungkin menunggu selama itu kan.”
Aku tersenyum
membaca pesan itu. “Tak bisakah kita mewujudkan mimpi itu sama sama, Suci?”
“Nggak
bisa bang, aku ingin mewujudkannya sendiri. Lagian kita juga nggak bakal bisa
nikah, bang.”
“Loh,
kenapa?” balas ku penasaran.
“Kata ibu Aku boleh nikahnya sama orang Jawa
aja Bang. Maafin Ibu ku ya Bang”
Aku termenung
menatap layar ponsel. Antara bingung dan tak percaya membaca isi pesan itu. “Harus
orang Jawa ya Ci? Nggak boleh sama orang Melayu gitu?”
“Iya bang, tadi Ibu bilang gitu. Aku udah coba jelasin sama
Ibu, tapi Ibu tetap inginnya aku nikah sama orang jawa aja. Maaf ya bang. Selama
ini Ibu nggak pernah minta apa pun sama aku. Biasanya ibu selalu turuti kemauan
aku. Jadi sekarang aku yang harus turuti kemauan Ibu” balasnya berusaha
menjelaskan.
Dapat
ku pahami dengan jelas kenapa ibunya ingin dia menikah dengan orang jawa,
selain karena mereka memang orang jawa. Pasti seorang ibu inginkan yang terbaik
untuk anaknya. Dan juga dapat ku mengerti alasannya untuk mewujudkan
impian-impiannya. Dia seseorang yang punya prinsip, aku suka itu.
“Kalau
memang seperti itu keadaannya, apa boleh buat. Suci turuti aja kemauan ibu,
buat ibu bahagia. Dan capailah semua impiannya. Abang mendoakan yang terbaik
buat Suci.” Aku mendoakannya tulus, bukan hanya sebatas kata-kata. Tapi dari
hati, aku memang berharap yang terbaik untuknya, juga keluarganya.
“Makasih
ya bang, semoga abang juga diberikan yang terbaik” dia balas mendoakan.
“Iya.
Dan sepertinya Syawal kemaren adalah syawal terakhir abang menghubungi Suci. Setelah
ini Abang akan melupakan Suci. Aku akan melupakan mu.” Ini bukan tentang
penyesalan, tapi tentang sebuah harapan baru. Bukan tentang menyerah, tapi awal
sebuah langkah.
Dan pesan terakhir
yang aku terima darinya adalah “Aku juga akan Melupakan mu”.(Masih) Bersambuunnggggg....